BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. 1.      Latar Belakang Dan Identifikasi Masalah

Timur Tengah merupakan sebuah wilayah yang memiliki posisi geografis yang unik. Sejauh ini belum ada kesepakatan mengenai definisi Timur Tengah (Middle East), dan bahkan nama Timur tengah belum disepakati secara universal. Penamaan Timur Tengah muncul secara resmi oleh orang Inggris untuk menyebutkan kawasan yang meliputi semua negara Asia yang terletak di sebelah selatan Uni Sovyet (kini Rusia dan CIS), dan sebelah barat Pakistan, termasuk Mesir.

Nama lain yang muncul untuk menyebutkan kawasan ini adalah Timur Dekat (Far East), Istilah yang lebih tua. Yang dilingkupi oleh istilah ini adalah Asia Barat Daya dan wilayah-wilayah Eropa Tenggara yang pada masa lalu berada dibawah kontrol Khilafah Turki Utsmaniyah (Ottoman).

Dalam perkembangan terakhir, negara-negara yang sering diikutkan dalam penamaan kawasan Timur Tengah antara lain: Suriah, Libanon, Palestina, Israel, Mesir, Arab Saudi, Yaman, Oman, Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Irak, Kuwait, Lalu negara-negara Afrika Utara juga diikutkan: Maroko, Aljazair, Libya, Tunisia, Mauritania, Sahara Barat, Sudan, Etiopia, Eritrea, Jibuti.

Selain itu kadangkala negara-negara berikut juga diikutkan: Iran, Pakistan, Turki . Wilayah ini juga merupakan wilayah yang terletak pada pertemuan Eropa, Asia dan Afrika, dan dengan demikian ia menguasai jalan-jalan strategis yang menuju ke tiga benua tersebut. Jalan-jalan strategis tersebut antara lain; Selat Bosphorus yang menghubungkan Laut Mideterania (Laut Tengah) dengan Laut Hitam, Terusan Suez yang menghubungkan Laut Mideterania (Laut Tengah) dengan Laut Merah. Selain itu juga terdapat rute-rute perdagangan kuno via darat yang melewati kawasan ini.

Dipandang sebagai bagian dari Asia (Asia Barat Daya), Timur Tengah terletak di dalam zone tengah yang membentang di sepanjang benua raksasa ini, kira-kira antara garis lintang 30-40. Disebelah utara zone tengah ini terletak daratan Rusia yang luas. Di sebelah selatannya terdapat ujung-ujung semenanjung Asia, yang sebagian besar berada dalam kontrol Barat. Secara tradisional, Timur Tengah adalah kawasan yang diperebutkan antara kekuatan darat Rusia dan kekuatan laut Barat.

Secara politis dan kultural, Timur Tengah dibagi kedalam dua wilayah utama; Sabuk Utara dan Inti Arab. Sabuk Utara dari segi etnik, mayoritas adalah non Arab dan berbatasan langsung dengan Uni Sovyet (Rusia). Turki, Iran dan Afghanistan berbeda dalam banyak hal dengan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Sabuk Utara memisahkan dan melindungi Inti Arab dari Rusia (Uni Sovyet). Sebagai garis pertahanan yang tidak merata, namun yang terkuat terletak pada Turki dan yang terlemah ada pada Iran.

Inti Arab terbagi atas daerah Bulan Sabit Subur (fertile crescent) dan wilayah Laut Merah. Daerah Bulan Sabit Subur mencakup Irak – Mesopotamia / negeri dua sungai yang pernah kaya – dan pesisir Mediterania Asia, yang terdiri dari Suriah, Libanon, Yordania, Israel dan Palestina. Daerah ini merupakan tempat migrasinya rumpun Semit yang kemudian dikenal sebagai bangsa Babilonia, Assyria, Phoenisia dan Ibrani.

Wilayah Laut Merah, terdiri atas dua bagian, daerah Timur yang terbentang gurun kering Jazirah Arab (pulau Arab), yang penduduknya jarang, kaya akan minyak, dan tenggelam akan tradisi Muslim. Di sebelah Barat terdapat Mesir, negeri yang hidup dari sungai terpanjang di dunia, Sungai Nil yang merupakan sumber kesuburan di negeri yang memang tandus.

Timur Tengah lainnya adalah daerah Afrika Utara (maghreb). Secara geografis dikitari permukaan pegunungan, Mediterania dan Atlantik, sehingga menikmati iklim yang lebih sedang dibandingkan dengan daerah Timur Tengah lainnya. Daerah ini juga cenderung lebih dekat dengan Eropa dan menciptakan interaksi baik secara ekonomi atau cultural dengan negara-negara Eropa.

Kawasan Timur Tengah merupakan kawasan tempat lahirnya tiga agama besar dunia. Selain itu juga, dari Timur Tengah lahir peradaban-peradaban besar dunia. Bahasa Arab, menjadi bahasa utama yang digunakan di Timur Tengah, pada abad pertengahan, selama ratusan tahun Bahasa Arab merupakan bahasa ilmu pengetahuan, budaya dan pemikiran progresif di seluruh wilayah dunia beradab. Berbagai bahasa di dunia sampai saat ini memperlihatkan adanya pengaruh bahasa Arab dalam berbagai bahasa serapannya. Alfabet Arab (huruf Hijaiyah) merupakan system yang paling banyak dipakai di seluruh dunia, disamping aksara Latin.

Selain memiliki keunikan geografis, Timur Tengah memiliki sifat lain yang khas. Timur Tengah merupakan pusat dunia Islam. Di Timur Tengah terdapat tempat-tempat paling suci Islam dan lembaga-lembaga keilmuan Islam tertinggi. Agama dan budaya Muslim telah meresap ke seluruh masyarakat Timur Tengah dan telah memenuhinya dengan sikap-sikap filosofis sehingga hanya revolusi radikal yang mungkin mengubah prilakunya. Namun, di tanah suci Palestina, Timur Tengah memiliki fokus aspirasi-aspirasi Yahudi serta Kristen.

Kawasan Timur Tengah pada zaman sekarang menempati kedudukan strategis dalam percaturan politik internasional karena beberapa alasan:

1. kawasan ini menyimpan reserve minyak yang paling besar dibandingkan dengan kawasan lain, sehingga dalam zaman dimana energi minyak menjadi barang yang sangat langka, Timur Tengah memegang peranan sangat menentukan dalam percaturan politik dan ekonomi internasional

2. negara-negara di Timur Tengah, berkat kekayaan yang diperoleh dari rezeki minyak, telah menjadi negara-negara pengimpor senjata dari Timur maupun dari Barat. Kawasan ini sangat menarik bagi negara-negara pengekspor senjata yang dengan mudah dapat memperoleh devisa secara sangat menguntungkan lewat lalu lintas perdagangan senjata mereka. Amerika Serikat, Uni Sovyet (Rusia), Inggris, Prancis, beberapa negara Eropa Timur dan sejumlah negara Amerika Latin serta Republik Rakyat Cina adalah negara-negara yang menaruh minat besar dalam perdagangan senjata di Timur Tengah.

3. berkat bonanza minyak itu, Timur Tengah telah menjadi benua ekonomi yang mampu menyedot berbagai komoditi dari luar. Negara-negara industri dari Barat maupun dari Asia, terutama Jepang, Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan selalu mengincar kawasan Timur Tengah sebagai pasar yang cukup gemuk untuk berbagai produk industri mereka. Oleh karena itu Timur Tengah tidak saja memiliki nilai strategis, tetapi juga bernilai ekonomis.

4. konflik antar negara Timur Tengah, terutama sekali antara Israel dan negara-negara Arab mempunyai dimensi internasional dan melibatkan campur tangan negara-negara superkuat Amerika dan Uni Sovyet (Rusia). Perdamaian dan keamanan internasional sampai batas tertentu dipengaruhi oleh konflik-konflik yang terjadi di kawasan ini. Dengan kata lain, hampir setiap konflik besar yang terjadi di Timur Tengah mengimbas ke kawasan lain dan ikut mengguncang stabilitas kawasan tersebut.

5. Timur Tengah secara geografis, geopolitis, dan geostrategis merupakan kawasan yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat internasional, justru karena letaknya yang menghubungkan benua Eropa, Afrika, dan Asia. Beberapa negara Timur Tengah yang berbatasan langsung dengan wilayah Uni Sovyet (Rusia) menambah arti penting kawasan ini secara keseluruhan.

6. Timur Tengah terbukti dalam sejarah telah menjadi the cradle of civilization (asal muasal peradaban). Bukan itu saja, bahkan semua agama wahyu diturunkan di kawasan Timur Tengah. Agama Yahudi, Kristiani dan Islam, semuanya dilahirkan di Timur Tengah. (Taylor, 1990:v-vi)[1]

Dengan melihat keunikan – keunikan Negara-negara dikawasan ini serta kedudukan strategis dalam percaturan politik internasional maka sedikit perlu kita ingin mengetahui bagaimana corak politik Negara di timur tengah dengan membandingkan sejumlah strategi perpolitikan Negara-negara tersebut, Namun dalam pembahasan tulisan ini penulis akan menyajikan sedikit pengetahuan tentang geopolitik dan geostrategi beberapa Negara – Negara saja dikawasan timur tengah ini.

 

 

 

 

BAB II

STUDI PUSTAKA

 

  1. A.    Definisi Geopolitik dan Geostrategi

      Berbicara mengenai geopolitik dan geostrategi di era kekinian, kita tidak dapat lepas darikronologi perkembangan geopolitik itu sendiri. Bagaimanapun juga, geopolitik dan geostrategi dimasa kini berakar pada dan mendapat pengaruh dari geopolitik yang sudah lebih dulu berkembangdi era sebelumnya.Jika kembali pada geopolitik secara harfiah, geopolitik berasal dari dua kata, yaitu “geo” dan“politik”. Maka, membicarakan pengertian geopolitik, tidak terlepas dari pembahasan mengenaimasalah geografi dan politik. Sehingga mempelajari geopolitik berarti mempelajari bagaimanakondisi geografis suatu wilayah dapat mempengaruhi kepentingan dan suatu keputusan politik,serta bagaimana suatu keputusan politik dapat mempengaruhi perubahan faktor-faktor geografissuatu wilayah.

     Merujuk pada definisi tersebut, serta merujuk pada apa yang dikemukakan Colin Flint(2006) tentang geopolitik pre-modern, modern, dan post-modern, dapat dikatakan bahwa praktek geopolitik sebenarnya telah ada sejak puluhan abad lalu bahkan sebelum ada system nation-state atau ketika  masih berlaku system city-state

     Geopolitik  di era tersebut  diitilahkan  dengan geopolitik pre-modern dimana manusia bertindak sesuai dengan keadaan alam dan bukanmenguasai alam. Sebagaimana telah dijelaskan pada review sebelumnya bahwa ketika itu banyak terjadi peperangan perebutan wilayah antar dinasti sebagai respon atas ketidakpuasan danketidakmampuan mengelola wilayah yang detempati. Seiring dengan berkembangnya system nation-state pasca Westphalia 1648, geopolitik yang semula didasarkan pada hubungan antar city-states kini berubah menjadi antar nation-state atau yang diistilahkan oleh Flint sebagai geopolitik modern dimana  manusia mulai berusaha mengontrol alam guna mendapatkan kebutuhannya.

     Mengutip dari apa yang dikemukan oleh Harsawaskita (2007) dalam “Great Power Politics diAsia Tengah Suatu Pandangan Geopolitik”, ia menjelaskan bahwa ketika era geopolitik modernter dapat dua  golongan negara. Yaitu  golongan  negara  “determinis”  dan  golongan Negara “posibilitis”. Determinis berarti semua hal yang bersifat politis secara mutlak tergantung darikeadaan bumi geografi. Negara determinis adalah negara yang berada diantara dua negara raksasaatau adikuasa, sehingga secara langsung maupun tidak langsung terpengaruh oleh kebijakan politik A.Harsawaskita, “Great Power Politics di Asia Tengah Suatu Pandangan Geopolitik luar negeri dua negara raksasa itu. Sedangkan Negara “posibilitis” percaya akan kemampuanmanusia  untuk  mengontrol faktor-faktor  geografis  guna  memenuhi  kebutuhannya  tidak memedulikan dimanapun letak wilayahnya. Seiring dengan berkembangnya isu sovereignty, self-determination, globalisasi, dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi; geopolitik padaprakteknya bergeser menjadi praktek  geopolitik post-modern dimana tidak lagi menempatkanruang atau wilayah fisik sebagai faktor utama dalam peningkatan power .

      Geopolitik post-modernlebih menekankan pada penguasaan teknologi dan informasi,ekonomi, dan bahkan budaya. Geostrategi dalam geopolitik juga tidak lagi terlalu terfokus pada kepemilikan dan perluasanwilayah.

     Kondisi inilah yang kemudian memunculkan apa yang dikenal dengan geoekonomi,geokultural, geopertahanan,dsb.Salah satu bukti adanya pergeseran dalam praktek-praktek geopolitik di masa lalu hinggaakhirnya menjadi berkembang di abad-21 seperti saat ini dapat kita lihat dari negara AmerikaSerikat.

     Di era Perang Dunia kedua, Amerika Serikat yang terlibat dalam Allies Power gencar melakukan praktek-praktek kolonialisme di sejumlah negara di benua Asia dan Afrika, misalnyaseperti di Filipina dan Vietnam Selatan. Disini dapat kita lihat bahwa usaha Amerika untuk meningkatkan power dilakukan dengan menerapkan geopolitik dan geostrategi perluasan wilayahdengan jalan kolonialisasi. Namun, seiring munculnya isu self-determination dan munculnyanegara-negara non-blok di era Perang Dingin menyebakan praktek kolonialisme tidak lagi relevan sebagai strategi perluasan power.

      Dimasa kini, diabad ke-21,Amerika lebih menekankan starategi perluasan atau peningkatan  power   dengan menerapkan geoekonomi, geopertahanan, dan geokulutural. Strategi geoekonomi salah satunya dilakukan dengan memberdayakan tambangminyak yang ada di Amerika secara efisien dan lebih banyak menanamkan investasi di luar negeri utamanya dalam hal pengelolaan tambang minyak bumi di sejumlah negara Timur Tengah seperti Kuwait, dan pengelolaan gas alam di Asia Tengah.

    Strategi geopertahanan dilakukan denganmemperkuat kemampuan angkatan perang AS sekaligus menempatkan sejumlah pangkalan militer AS di beberapa negara seperti Filipina dan Israel. Dan strategi geokultural  dilakukan dengandimasukannya unsur-unsur kebudayaan AS dalam film-film Hollywood yang nantinya akanditayangkan di sejumlah negara di dunia Sehingga secara garis besar dapat dikatakan prospek geopolitik dan geostrategi di masadepan semakin mengarah pada pemberdayaan aspek ekonomi (geoekonomi), aspek budaya (geokultural), maupun pertahanan (geopertahanan).

      Jadi dapat kita simpulkan Geopolitik dan geostrategi di abad saat ini tidak lagi fokus pada pencapaian power  melalui perluasan wilayah dengan melakukan praktek-praktek kolonialialisasisebagaimana yang dilakukan oleh banyak nation-state pada sekitar puluhan abad sebelumnya hingga akhir abad ke-20. Munculnya isu self-determination, dan sovereignty pada akhir abad ke-19di negara-negara yang dulu terjajah (utamanya di Asia dan Afrika); serta semakin berkembangnyaisu globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi dan informasi menyebabkan praktek-praktek kolonialisasi tidak lagi dapat dijalankan. Hal ini menyebabkan praktek geopolitik yang dahulunya menekankan pada peningkatan power  melalui perluasan wilayah kini di abad ke-21 mengalamipergeseran menjadi peningkatan power dengan menekankan pada praktek-praktek  geoekonomi, geokultural, geopertahanan, dan pengembangan teknologi informasi.Saya kurang setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Harsawaskita bahwa geostrategidalam geopolitik di era kekinian tidak lagi terlalu terfokus pada kepemilikan dan perluasan wilayah.[2]

      Menurut saya, dalam kasus tertentu praktek geopolitik perluasan wilayah masih menjadifokus utama dari suatu negara di abad-21 ini. Namun di sisi lain memang terjadi pergeseran dalamhal instrumen yang digunakan. Contohnya adalah kasus Israel-Palestina. Israel hingga saat inimasih tetap fokus untuk memperluas wilayahnya ke arah wilayah Palestina, namun memang caraatau instrumen yang digunakan di abad-21 ini cenderung mengalami pergeseran.Jika dulu sebelum Israel mendapat pengakuan sebagai suatu negara yang berdaulat, Israel menunjukkan power -nya dengan menduduki wilayah Yerussalem Timur yang seharusnya menjadimilik Palestina dengan menempuh jalan peperangan mulai dari Perang Yom Kippur, Perang 6hari,dsb. Bahkan setelah  menjadi  negara  berdaulat  pun, di tahun 2008, Israel  melakukanpenyerangan di jalur gaza. Ini membuktikan bahwa penerapan geopolitik yang menekankan padaperluasan wilayah, sebagaimana teori geopolitik “lebensraum” Ratzel, masih terjadi di abad ke-21.

      Pergeseran penggunaan perang sebagai istrumen untuk memperluas wilayah baru mengalamipergeseran menjadi praktek geoekonomi ketika Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Obamagencar menggalakkan perdamaian dan gencatan senjata Israel-Palestina. Israel pun mengubah strateginya dengan memanfatkan faktor perekonmiannya yang banyak didukung oleh Perancis,Inggris dan negara Eropa Barat lainnya serta menawarkan investasi bagi investor asing untuk membangun 1600 pemukiman dan sejumlah apartemen di Yerussalem Timur pada Maret 2010 iniuntuk semakin membuktikan kekuasaannya atas wilayah tersebut meskipun banyak mendapatkecaman dari pihak internasional. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa praktek geopolitik perluasan wilayah masih ada hingga abad ke-21, hanya saja telah terjadi pergeseran maupunperubahan terkait dengan instrumen atau cara yang digunakan untuk perluasan wilayah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

 

  1. A.    Geopolitik dan Geostrategi Iran

Aspek geografis adalah sebuah anugerah atau pemberian berbeda dengan konteks perpolitikan yang selalu berubah. Jadi sangat beruntung sekali Iran karena  berada di persimpangan Timur Tengah, Asia Barat dan Kaukasus.[3] Dimana bagian utara Iran bertetangga dengan Armenia, Azerbaijan, Turkmenistan, bagian timurnya bersebelahan dengan Afganistan dan Pakistan, sedangkan sebagian besar sayap baratnya berhimpitan dengan Irak dan sebagian kecilnya dengan Turki. Teluk Persia membentang di barat daya Asia di antara Iran dan Jazirah Arab dan Selat Hormuz menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman. Letak Iran di pusat Eurasia inilah yang selama ribuan tahun menjadikan Iran bagaikan “menara pengintai” sekaligus benteng pertahanan Timur ataupun Barat. Sehingga setiap kali suatu kekuatan dari Barat hendak menyerang belahan Timur atau sebaliknya, maka ia akan menjadikan Iran sebagai garis depan.[4]

Bila mengikuti pola berpikir Karl Haushofer tentang Wehrgeopolitik, posisi geografis yang sedemikian ini menjadikan Iran sebagai daerah rawan gesekan. Kenyataan geopolitik ini membuat bangsa Iran selama berabad-abad menjadi saksi berbagai perang besar sekaligus terlibat dalam banyak peperangan, salah satunya adalah antara Inggris melawan Rusia dan India.[5] Keberadaan Iran di Eurasia (Eropa dan Asia) juga merupakan hal yang penting karena merupakan bagian ”heartland” yang dimaksud Mackinder, sehingga barangsiapa yang menguasainya akan dapat menguasai dunia. Heartland banyak diperebutkan karena sumber daya alamnya yang potensial di bidang energi seperti minyak bumi dan gas.

Dalam geostrategi energi, posisi geografi Iran memang sangat menguntungkan karena memiliki akses ke Laut Kaspia yang mengandung potensi kekayaan minyak dan gas. Iran secara otomatis menjadi salah satu negara vital yang dilewati oleh pipa-pipa minyak dan gas menuju Asia, seperti ke India, Pakistan, dan China. Di samping itu Selat Hormuz juga dilalui oleh kapal-kapal tanker pengangkut minyak sedunia.[6]

            Selain memiliki posisi wilayah yang strategis di Timur Tengah, Iran adalah negara yang kaya akan sumber energi. Iran adalah salah satu negara anggota OPEC yang mempunyai potensi minyak Khuzestan dan gas yang luar biasa terutama di Pars Selatan (280-500 Tcf kandungan cadangan gasnya dan 17 miliar barrel kandungan minyak). Melihat kondisi geostrategi dan geopolitik energi yang dimiliki Iran maka sangat wajar jika Iran menjadi incaran Amerika Serikat (AS).[7] Hal ini didukung oleh pernyataan Prof Michael T Clare, penulis buku Blood and Oil, apa pun alasan yang dikemukakan AS untuk menggulingkan Pemerintah Iran saat ini, baik nuklir, rezim pemerintahan yang tiran, pelanggaran HAM ataupun terorisme, motif utamanya adalah menguasai sumber minyak bumi negara tersebut. Selain itu, AS mengincar Iran karena tidak ingin dominasinya di Timur Tengah terganggu disebabkan Iran yang kaya akan sumber alam yang sedang melakukan ekspansi geopolitik dan ekonomi di kawasan Eurasia bersama Rusia dan China untuk melakukan bisnis listrik-kedua negara tersebut memiliki hubungan yang tidak harmonis dengan AS di masa lalu dan melakukan banyak persaingan di masa sekarang.

AS semakin jengkel dengan Iran karena telah meluncurkan pusat perdagangan minyak alternatif dengan menggunakan mata uang Euro yang menjadi ancaman bagi dominasi rezim mata uang Dollar Amerika di dunia. Hal penting yang bisa ditarik dari pemaparan di atas adalah tentang kemungkinan terbesar AS menyerang Iran adalah karena pragmatisme kepentingan belaka, karena dalih keberadaan senjata pemusnah massal juga pernah dituduhkan ke Irak namun sampai sekarang belum terbukti. Apalagi dari pihak IAEA sendiri pun mengatakan bahwa Iran murni melakukan pengembangan energi untuk menyuplai listrik di negaranya, sama sekali tidak ada indikasi ke arah pembuatan senjata. Jadi pada era kontemporer ini, pemikiran geopolitik Iran  lebih pada orientasi energi yaitu bagaimana memanfaatkan minyak yang dimilikinya untuk kemudian juga disatukan dengan kekuatan nuklir.

 

A.1. Pengaruh Idiosinkratik dalam Geostrategi dan Geopolitik Iran.

            Pergeseran orientasi geopolitik Iran yang dulunya ditekankan pada pengembangan supremasi transportasi dan pertahanan darat serta udara menuju energi, tak lain adalah pengaruh kebijakan kepala negara Iran di era kontemporer salah satunya adalah Ahmadinejad. Idiosinkratik-pengalaman, bakat, kepribadian, persepsi dan kalkulasi serta perilaku- Nejad meliputi: meraih gelar doktor dalam bidang teknik dan perencanaan lalu lintas dan transportasi,[8] sehingga wajar bila dalam pemerintahannya dipusatkan pada kelanjutan pengembangan energi nuklir yang sudah ada sejak era Shah Reza Pahlevi; sebelum menjabat sebagai presiden, Nejad bekerja menjadi dosen, pernah bergabung dengan Korps Pengawal Revolusi Islam pada tahun 1986, menjadi wakil gubernur dan gubernur Maku dan Khoy, Penasehat Menteri Kebudayaan dan Ajaran Islam, dan gubernur provinsi Ardabil, dan walikota Teheran.[9]

            Sikap dan perilaku sederhana Nejad bukan berarti menunjukkan sosok pribadi yang lemah, Nejad termasuk tipikal orang yang cenderung konfrontatif daripada kompromis dalam menyikapi aksi AS yang menyebut Iran sebagai bagian Axis of evil karena menyeponsori tindak terorisme di Afganistan dan Lebanon. Ahmadinejad tidak diam begitu saja atas tuduhan tersebut, ia sempat melakukan konfirmasi bahwa Iran sebagai negara Islam yang cinta damai justru mendukung tindakan pemberantasan terorisme. Hal ini ditegaskan pada pasal 154 UUD Republik Islam Iran yang menyatakan:“Republik Islam Iran beraspirasi untuk kebahagiaan manusiawi dalam lingkungan umat manusia serta mengakui kemerdekaan, kebebasan,  keadilan, dan kebenaran sebagai hak-hak yang harus dinikmati oleh semua manusia sedunia. [10][14][11] Kemudian untuk  tuduhan lain yang dilontarkan yaitu seputar pengembangan nuklir, Ahmadinejad sempat memberikan pernyataan terbaru paska terpilihnya kembali sebagai Presiden Iran, yaitu Iran hanya mau membahas kerjasama untuk mengatasi maslah global dan tidak mau membahas lagi masalah nuklir. Semua resiko termasuk ancaman tiga embargo sekaligus, sama sekali tidak menyurutkan ambisi tersebut, apalagi keputusannya didukung oleh mayoritas warga Iran dan Khomeini sebagai ulama dan pemimpin agung.

Bila ditinjau lebih jauh, alasan Iran mengembangkan nuklir adalah urusan dalam negerinya, sehingga AS tidak berhak untuk mengintervensi. Apalagi non proliferation treaty (NPT) membenarkan para penanda tangan untuk menggunakan nuklir guna pembangkit listrik. Mengapa Iran tidak dibenarkan saat negara lain sudah melakukannya? Padahal India yang bukan penandatangan NPT justru malah  ditawari Washington akses luas pada teknologi nuklir AS. Bagaimana mungkin seluruh dunia mengecam Iran yang belum pernah menggunakan senjata nuklirnya-kalaupun ada- dan justru malah mendukung kecaman AS yang jelas-jelas pernah menggunakan bom atom untuk menghancurkan Jepang dalam Perang Dunia II. Padahal tujuannya sudah jelas dari awal, yaitu karena kebutuhan listrik Iran terus meningkat 7-8 persen per tahun. Pada tahun 2005 kebutuhan mencapai 36.000 Mw. Hanya tujuh persen kebutuhan listrik Iran berasal dari hidroelektrik, sisanya bergantung minyak dan gas, padahal harga minyak terus meningkat. Bukankah sudah menjadi tugas suatu negara bila memenuhi kebutuhan rakyatnya, apalagi peluang bisnis listrik ini bisa dijadikan suatu bisnis dalam skala luas dengan bekerjasama dengan Rusia dan India. Selain itu nuklir memiliki resiko kecil dan tingkat keamanannya terjamin, serta bisa didaur ulang. Cara ini diharapkan akan mengurangi ketergantungan konsumsi minyak yang tidak bisa diperbarui.

Bebagai keberhasilan iptek Iran tersebut tak lepas dari tingginya riset yang dilakukan ilmuwan Iran, mereka melakukan rekonstruksi persenjataan dan teknologi yang mereka impor dari Rusia, Cina dan Korea Utara. Semua alutsista Iran hanya untuk pertahanan saja. Namun komentar Ahmadinejad tentang rencananya menghapuskan Israel dari peta dunia atas konflik Palestina-Israel yang terjadi dan menganggap Holocaus sebagai mitos yang dibuat-buat atau terlalu dilebih-lebihkan- kalaupun terjadi bukan Palestina yang menanggung akibatnya tapi Jermanlah yang mesti bertanggung jawab karena Hitler berasal dari negara tersebut, menimbulkan persepsi ancaman bagi negara lain.

Hal ini dapat dipahami dengan upaya pengonstruksian pemikiran suatu negara saja, bila suatu negara menginginkan damai maka bersiap-siaplah untuk damai bukan bersiap siap untuk perang (Civis pacem para pacem). Hal ini juga dikomentari Nejad saat sesi tanya jawab di Universitas Columbia: ”Tidakkah anda berpikir bahwa banyak permasalahan di dunia ini datang dari cara anda memandang isu-isu, dari cara berpikir macam ini, dari pendekatan pesimistis semacam ini terhadap banyak orang, dan dari level tertentu egoisme. Semua itu harus dikesampingkan sehingga kita dapat menunjukkan rasa hormat kepada setiap orang, membiarkan sebuah lingkungan persahabatan untuk tumbuh, membiarkan semua bangsa untuk berbicara satu sama lain, dan bergerak ke arah perdamaian?”

            Sangat menarik sekali memang membahas idiosinkratik tokoh ”sekaliber” Ahmadinejad, yang bisa berbicara sekaligus bisa membuktikannya. Ada beberapa keberhasilannya yang bisa dijadikan contoh oleh negara lain,[12] yaitu berani menolak intervensi negara lain, karena ini menyangkut kedaulatan; untuk urusan dalam negeri Ahmadinejad  melakukan beberapa program baru seperti penggunaan smart card untuk mengurangi konsumsi minyak, sehingga produksi yang dihasilkan bisa diekspor, safari kunjungan ke berbagai daerah sekaligus menyelesaikan permasalahan yang ada di tempat itu juga, pemangkasan prosedur birokrasi dan tradisi seremonial demi kepentingan rakyat, memegang rekor kepemimpinan yang paling aktif yang dibuktikan dengan berbagai proyek besar bagi pengembangan ekonomi Iran. Hal itu dilaksanakan di tengah-tengah perubahan radikal yang dilakukan di badan pemerintah dan rintangan-rintangan yang dihadapi pemerintah, khususnya masalah politik luar negeri. Hal ini meningkatkan antusiasme dukungan dan kepercayaan rakyat yang terus mengalir bahkan saat pemilu 2009 ini.

            Namun bukan berarti pemerintahan Nejad tidak ada hambatan, pada saat penerapan smart card banyak rakyat yang mengecam dan terjadi kerusuhan dimana-mana karena penerapannya hanya 2 jam setelah diumumkan. Berbagai unjuk rasa juga mewarnai hasil pemilu 2009 lalu, karena tuduhan kecurangan Nejad yang dilakukan pesaingnya Mousavi. Khomeini sebagai pimpinan agung menyatakan bahwa perhitungan pemilu tidak perlu diulang, karena kerusuhan yang terjadi ini hanyalah provokasi oleh negara luar. Semestinya Mousavi ”legawa”atas kekalahannya itu dan bersedia menjadi oposisi untuk mengawasi pemerintahan Ahmadinejad ke depannya untuk masa depan Iran yang lebih baik, bukan malah mengerahkan massanya. Kemudian gaya bicara Nejad yang terlalu percaya diri dan radikal dapat dimanfaatkan oleh negara lain untuk menghancurkan Iran. Hal ini terbukti dari ungkapan Israel yang senang karena Nejad terpilih kembali, dengan begitu tekanan internasional akan terus berlanjut di Iran, begitu pula dengan badan intelijen AS yang menyatakan bahwa Nejad adalah informan berharga karena setiap informasi yang dibutuhkan AS keluar dengan lugas dari mulutnya.

Berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, yaitu Khatami yang lebih lunak pada AS dan Israel dan aktif dalam PBB. Bila dibandingkan dengan Nejad, Khatami ini merupakan seorang intelektual, filosof, dan politikus Iran. Ia tampil keempat sebagai Presiden Iran pada periode 1997-2005 dan digantikan Mahmoud Ahmadinejad. Sebagian besar memilih Khatami karena janjinya untuk meningkatkan status wanita dan tanggap akan permintaan generasi muda Iran. Khatami dianggap sebagai presiden reformis pertama di Iran karena kampanyenya memfokuskan pada penegakan hukum, demokrasi dan pencakupan seluruh rakyat Iran dalam proses perencanaan politik.

Hal ini sering bertentangan dengan pemikiran kaum garis keras yang mayoritas menjadi pejabat di Iran. Celah ini dapat tertutupi dengan agresivitas Ahmadinejad dalam menanggapi isu dalam maupun luar negeri. Program Khatami sebenarnya tak berbeda jauh dengan Nejad namun pelaksanaanya kurang cepat dan nyata, seperti masalah pembangunan pemukiman warga. Dari beberapa fakta yang disajikan dan beberapa argumen pribadi penulis, sudah jelas sekali bila Iran identik dengan Ahmadinejad termasuk aspek geopolitik dan geostrateginya di era kontemporer. Hal ini bisa disamakan dengan profil Hitler yang identik dengan Jerman dan Kim Il Sung dengan Korutnya.

Jadi Prospek geopolitik dan geostrategi Iran ke depannya, sepertinya masih sama yaitu melanjutkan pengembangan nuklir dengan lebih progresif, hal ini sebagai bentuk untuk menggalang dukungan dari simpatisan Mousavi dan rakyat Iran lainnya paska pemilu; membatasi konsumsi minyak dalam negeri dan memaksimalkan ekspor, pengintesifan hubungan dengan Rusia, Cina bahkan India karena Iran ditunjuk sebagai observer dari SOC-organisasi kerjasama damai antara tiga negara tersebut dengan Asia Tengah; Hubungan dengan AS hanya terkait dibidang pemberantasn terorisme dan perdagangan; sedangkan dengan Israel, Iran masih konsisten menerapkan strategi ofensif sebagai suatu solidaritas atas pelanggaran HAM, pelanggaran kedaulatan dan pengusiran warga asli palestina. Selain itu gaya konfrontatif dengan barat juga masih berlanjut sehubungan dengan penolakan imbalan keuangan dan akses perdagangan yang ditawarkan Obama.

            Karisma Nejad dan solidnya dukungan di tingkat akar rumput serta restu dari ulama sekaligus pemimpin tertinggi Iran, ditambah dengan pemaksimalan potensi dalam negeri yang responsif akan berbagai peluang dan tantangan internasional adalah kunci Iran bisa berhasil dan sukses seperti sekarang.  Meskipun didera embargo puluhan tahun dan persaingan yang dinamis dalam tatanan dunia anarki, Iran sanggup bertahan dan berdiri ”dikakinya sendiri”. Bukan suatu keniscayaan lagi bila periode kedua Nejad menjabat, perekonomian Iran beralih dari berkembang menjadi maju.

 

  1. B.     Geopolitik dan Geostrategi Israel.

Saat ini jikalau kita lihat neagra-negara super power seperti AS  sangat bergantung paling tidak sebesar 20% pasokan minyak dari Timur Tengah. Jumlah ini tentunyacukup signifikan pengaruhnya terhadap upaya AS mewujudkan keamanan energi. Ditilik dari sudut pandang Israel, konsep geopolitik juga menjadi sangat relevan terkaithubungan erat AS-Israel. Secara geografis, Israel yang memiliki luas wilayah tak lebih dari 20.072km hampir seluruh wilayahnya berbatasan dengan negara-negara yang telah dan potensialmenjadi musuh. Sejak pendiriannya, Israel telah melewati tidak kurang dari enam perang antar Negara.

Fakta ini menimbulkan mentalitas terkepung· pada seluruh rakyat Israel. Maka kemudianmenjadi sangat beralasan jika Israel menggunakan seluruh potensi yang ada untuk tetap bisa mempertahankan eksistensinya sebagai Negara. Salah satu cara adalah dengan menjalin hubungan baik dengan AS. Hal ini dimungkinkan salah satunya karena Israel menjadi satu-satunya Negara yang menerapkan sistem politik demokratis murni di kawasan Timur Tengah. Ini kemudian menimbulkan kedekatan kultural dengan AS. Selainitu, sudah menjadi rahasiaumum bahwa di AS sendiri kelompok Yahudi mendominasi kehidupan bisnis dan politik.

Diperkirakan, setidaknya250 dari 300 anggotaKongres AS mendukung setiap kebijakan pro-Israel.

Ditinjau dengan pendekatan geopolitis, hubungan AS-Israel yang erat secara tidak wajardapat dilihat sebagai bentuk upaya mengamankan kepentingan nasional masing-masing. Bagi AS sama halnya dengan negara-negara industrialis lain, kawasan Timur Tengah secara geopolitispenting karena keberadaan sumber energi. Upaya AS mengamankan sumber energi ini dijawantahkan dengan membangun hubungan yang erat dengan Israel agar Israel hingga pada level tertentu dapat menjadi stabilisator di kawasan. Walaupun efektifitas Israel sebagai stabilisatorkawasan ini masih dapat diperdebatkan, setidaknya keberadaan Israel yang kuat secara ekonomidan militer telah mencegah hadirnya kekuatan tunggal di kawasan yang akan mengendalikanpasokan energi.

Dari sudut pandang Israel, kedekatannya dengan AS secara geopolitis adalah terkait denganpembangunan kapabilitas, terutama ekonomi dan militer, untuk menghadapi lingkungan geografis yang tidak bersahabat. Potensi konflik yang sangat besar membuat Israel merasa perlu untuk memperbesar kapabilitas militernya yang didapat dengan melalui hubungan dengan AS.

 

Geostrategi Perang Israel di Palestina

Detik kemeriahan pergantian tahun 2008 ke 2009, masih terdengar di telinga. Dentuman petasan dan kembang api, masih bisa dirasakan hingga saat postingan ini Saya buat. Banyak hal telah terjadi di 2008, dan banyak hal yang telah menanti di 2009. Namun ada satu hal yang dari dahulu hingga sekarang masih saja terus terjadi. Sebuah peperangan akibat sengketa tanah yang tidak berkesudahan. Seakan tak mengenal waktu, perang antara Israel vs Palestina seakan telah menjelaskan kebenaran akan isi Al Qur’an tentang tanah tersebut. Keinginan akan akuisi tanah (Israel) melawan perjuangan akan hak milik tanah (Palestina), inilah yang mendasari peperangan Israel dan Palestina. Belum begitu lama diingatan kita, ketika Amerika sebagai Polisi Dunia melalui PBB memberikan pengakuan terhadap kaum Israel (Sekutu yang merupakan perpanjangan tangan Amerika untuk kawasan Timur Tengah) dan memberikan mereka tempat di tanah Arab dekat Jalur Gaza. Namun, nampaknya. apa yang dilakukan Amerika, hanyalah sebagai bentuk Politik Kekuasaan atas tanah yang sangat kaya akan minyak, serta bentuk dukungan kepada Kaum Israel untuk memecah Palestina dan menguasai Daerah tersebut.

Telah bertahun-tahun, sejak jaman ke-Nabi-an. Bangsa Israel dikenal sebagai bangsa yang pintar namun keras kepala. Bangsa Israel memiliki mayoritas bangsa Yahudi (penyembah dewa) yang dikenal merupakan bangsa yang selalu membangkang dan tidak mau tunduk kepada Allah SWT. Bangsa Yahudi juga dikenal sebagai bangsa terusir karena watak dan sejarah mereka yang dikenal kejam dan suka memperbudak, mungkin ini juga alasan yang dilakukan oleh Hitler sewaktu memusnahkan secara massal bangsa Yahudi dari Jerman dan atau dari muka bumi (namun apakah Hitler baik atau tidak?). Ada beberapa literatur yang menyatakan bahwa Palestina merupakan tanah yang dijanjikan bagi kaum Israel, namun ada juga yang menyatakan bahwa diharamkan bagi kaum Israel untuk bisa menduduki tanah Palestina. Palestina sendiri bisa disebut sebagaian tanah suci bagi kaum Islam, banyak peninggalan jaman Nabi Muhammad SAW disana, seperti Mesjid Al-Aqsha yang merupakan tujuan perjalanan Isra’ dan Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW. Namun, jaman telah berubah… dengan teknologi dan politik Internasional, apa yang digaris kan dalam literatur itu sendiri sudah berbeda dengan kenyataan. Saat ini warga Israel telah berhasil mendapat tempat di semenanjung perbatasan Palestina (bisa dibilang seper-bagian dari tanah Palestina itu sendiri).

Negara Palestina sendiri dikuasai Oleh 2 kelompok Islamis, Yaitu Hamas dan Fatah. Namun sayangnya, kedua kelompok ini juga tidak begitu “akur”, sehingga sering terjadi perpecahan. Kaum Hamas terlihat lebih Anti terhadap Zionisme dan sangat bersikap Protektif. Disebutkan pula bahwa, perang yang terjadi diakhir 2008 ini disebabkan oleh roket Hamas yang jatuh dikawasan Israel (benar atau rekayasa?, yang pasti pihak Militer Israel selalu berharap-harap adanya pemicu untuk peperangan kembali) sehingga dengan berkedok pemboman terhadap titik-titik rawan yang diduga tempat persembunyian Kaum Hamas Palestina, sedikit demi sedikit pihak Israel mulai menyerang kembali dan berusaha menguasai Gaza City dan mungkin seluruh Palestina. Dan apa yang terjadi ??? bukan hanya tempat-tempat yang diduga persembunyian kaum Hamas saja yang di bombardir, tapi hampir seluruh wilayah termasuk tempat dan fasilitas umum turut hancur menjadi korban.

Tapi, Palestina Tentu tidak diam saja, panggilan perang mereka nampaknya juga diterima baik oleh para warga Palestina, baik dari Kelompok Sparatis agamais Palestina Fatah dan Hamas“, melakukan serangan balasan. Kelompok Hamaslah yang paling besar mengambil andil dalam pertempuran ini. Mengingat, peperangan terjadi di jalur Gaza, dimana wilayah Gaza-Palestina merupakan kekuasaan kelompok Hamas. Hingga saat ini, Pihak Israel juga mendapat serangan balik dari pihak Palestina (Hamas). Namun apalah daya, Israel terlihat lebih unggul dibandingkan Palestina. Israel dipersenjatai dengan perlengkapan perang yang lengkap dan canggih yang merupakan sumbangan dari Amerika. Ditambah lagi, negara arab yang terlihat tidak mau bersatu dan bersikap acuh tak acuh (atau mungkin menyuplai dari belakang. hanya negara Iran saja yang terlihat bersimpati kepada Hamas. Sedih rasanya melihat negara Palestina mati perlahan. Namun, apakah tidak ada jalan untuk keluar. Tentu saja ada dan seharusnya segera dilakukan, yakni jika semua negara-negara (mayoritas) Islam khususnya Arab mau bersatu dan bersuara keras kepada PBB tentang perihal ini dan segera memaksa Israel-Palestina untuk melakukan gencatan senjata dan mengatur ulang MOU yang telah dibuat dahulu. Kasihan warga-warga yang tidak berdosa, dan anak-anak yang tidak mengerti mati sia-sia karena perang yang tak berkesudahan.[13]

 

 

  1. C.    Geopolitik Dan Geostrategi Arab Saudi

Arab Saudi adalah negara yang memiliki keunggulan geografis. Letak strategis dan sumber daya alam minyak merupakan aspek yang memberikan pengaruh terhadap politik luar negeri Arab Saudi. Untuk itu, sebagai negara bangsa sudah seharusnya Arab Saudi memahami faktor geopolitik yang dimilikinya untuk mewujudkan city-vita dan tujuan nasional serta mempertahankan kehidupan dan eksistensinya.

Fokus perhatian dari geopolitik adalah hubungan dan peranan aspek kebumian dengan politik luar negeri yang dijalankan oleh suatu negara. Untuk menganalisis geopolitik Arab Saudi, digunakan teori geopolitik yang dikemukakan oleh Mackinder, yaitu teori Heartland (wilayah jantung). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya pengaruh geopolitik Arab Saudi dalam mengakhiri konflik Arab-Israel dan langkah-langkah yang ditempuh dalam proses perdamaian tersebut. Metodologi yang digunakan dalam penyusunan ini adalah paradigms kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini, bahwa Arab Saudi yang secara geopolitik memiliki kemampuan dan kekuatan yang signifikan, berupaya melakukan penyelesaian konfhk Arab-Israel yang masih berlangsung sampai penelitian Mi dilakukan. Arab Saudi secara geopolitik memiliki kemampuan yang cukup baik dalam penyelesaian konflik yang terjadi antara Arab-Israel. Beberapa upaya yang dilakukan adalah dengan embargo minyak dan pengajuan proposal damai.

Arab untuk menunjukkan powernya terkait masalah minyak. Adanya embargo menyebabkan pembatasan produksi minyak yang diekspor ke wilayah-wilayah negara tetangga, sehingga cadangan minyak Arab dapat terus terjaga dan mereka dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Pemberlakuan embargo ini hanya bertahan selama satu tahun dan diakhiri pada tahun 1974. Namun, peristiwa ini telah menandai  suatu babak baru dalam  hubungan  internasional. Itu merupakan salah satu bentuk keberhasilan politik dan ekonomi bagi negara-negara Timur Tengahsekaligus memberi pelajaran pada negara-negara Dunia Ketiga bahwa sumber daya alam yang mereka miliki dapat menjadi senjata dalam menjalin hubungan politik dan ekonomi dengan Negara lain.

Dan adanya embargo tersebut memberikan pengaruh signifikan terhadap situasi geoekonomi dikawasan Eropa Barat dan Amerika pada periode setelahnya. Adanya embargo membuat sejumlah perusahaan di Amerika

collapse karena sulitnya memperoleh pasokan minyak sehingga akhirnya Presiden Nixon pun menetapkan kebijakan untuk menghemat cadangan minyak di Amerika. Sisi positifnya, adanya embargo tersebut membuat konsumsi Amerika atas  minyak  turun  20% dibandingkan sebelum adanya embargo. Masyarakat pun melakukan penghematan listrik dalam rangka menghemat cadangan minyak. Sejumlah ilmuwan AS pun melakukan penelitian untuk mengembangkan energi alternatif, dan penggunaan sejumlah fasilitas umum diatur oleh pemerintahuntuk meningkatkan efisiensi pemakaaian minyak.

Namun dampak negatifnya industri otomotif diAS mengalami penurunan, dan negara-negara Asia seperti misalnya Jepang muncul sebagai pesaingbaru bagi indutri AS. Sehingga secara garis besar, pasca embargo di tahun 1973, perkembanganindustri di dunia tidak lagi terpusat di wilayah Eropa Barat dan Amerika saja melainkan telahmenyebar di wilayah Asia.

Dalam artikel “The Geopolitics of Oil” [Anon, 1980, pp.1324], dikatakan bahwa setidaknya adaenam poin penting yang dapat diambil dari dampak peristiwa krisis minyak di tahun 1970-an dalamkaitannya dengan geopolitik dan geoekonomi, yakni:

  1. Ekspor minyak dari negara-negara Timur Tengah atau di wilayah Teluk Persia dan Afrika Utara tidak mungkin mengalami pertambahan dalam jumlah besar dalam 10 tahun mendatang, Hal ini menuntut adanya tindakan bersama untuk mengurangi dampak kelangkaan minyak, salah satunya dengan melakukan konservasi terhadapsumber daya minyak dimana negara-negara konsumen harus mengurangi jumlah pemakaian minyak sementara negara-negara produsen mengurangi produksinya dalam kisaran jumlah yang sama.
  2. Meskipun seandainya konflik Arab-Israel tidak terjadi, permasalahan masalah minyak akan tetap terjadi suatu hari nanti, Sehingga pengusahaan enrgi alternatif harus terus dikembangkan.
  3. Minyak telah menjadi bagian dari instrumen politik bagi negara-negara penghasil minyak, Sehingga embargo minyak dapat menjadi salah satu taktik geoekonomi.
  4. Jika negara konsumenmaupun negara produsen tidak mengubah arah kebijakannya, pada dua dekade ke depan sangat mungkin  terjadi  persaingan  antarnegara  atas  sumber  daya  minyak  yang  terbatas.
  5. Ketergantungan Amerika dan negara-negara Barat atas suplai minyak dari Timur Tengah akan membahanyakan perekonomian negara-negara importir tersebut .
  6. Pertumbuhan ekonomi negaraberkembang yang cenderung lamban dan banyaknya hutang yang mereka miliki dapat mengancamsistem perekonomian internasional. Sehingga negara-negara maju pun dituntut untuk rasionaldalam menetapkan harga ekspor minyak ke negara berkembang karena hancurnya perekonomian negara berkembang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian internasional.

Kesimpulan dan Opini dari penjelasan diatas ialah Dalam kaitannya dengan geopolitik dan geoeknomi, komoditas minyak selain dapat menjadisalah satu penyebab perang dan perebutan penguasaan ekonomi antarnegara, juga dapat menjadisalah satu intrumen politik dan ekonomi untuk menghentikan perang. Salah satu contoh peristiwa penggunaan komoditas minyak sebagai instrumen untuk menghentikan perang adalah adanya embargo minyak di tahun 1970-an oleh negara-negara yang tergabung dalam OAPEC terhadap negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat dalam kaitannya untuk mengakhiri perseteruan Arab-Israel yang telah terjadi sejak tahun 1967.

Menurut pendapat saya, adanya peristiwa tersebut dapat dijadikan pelajaran bagi negara-negara di dunia khususnya Amerika untuk tidak bergantung pada suplai atau impor minyak darisatu wilayah yakni Timur Tengah saja. Saya setuju dengan apa yang dikemukan dalam jurnal “The Geopolitics of Oil” pada poin ke-5 bahwa ketergantungan Amerika dan negara-negara Barat atassuplai minyak dari Timur Tengah akan membahanyakan perekonomian negara-negara importir tersebut.

Oleh karena itu, menurut saya, negara-negara maju di Eropa Barat dan juga AmerikaSerikat juga harus memberikan dukungan terhadap adanya pengembangan energi alternatif dan jugamendukung upaya akselerasi perekonomian di negara-negara berkembang yang juga memiliki potensi akan sumber daya minyak namun belum dapat mengolahnya secara maksimal.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Immanuel Maurice Wallerstein tentang “dependency theory” antara negara core, semi-periphery, dan periphery. Negara-negara maju tidak selayaknya hanya memperdulikan kepentingan ekonominya semata, karena ketidak stabilan perekonomian di negara-negara  semi-periphery  dan periphery  pun juga  akan  dapat  mengganggu  stabilitas perekonomian internasional secara keseluruhan.[14]

BAB IV

PENUTUP

 

Kesimpulan dan Saran

Prospek geopolitik dan geostrategi Iran ke depannya, sepertinya masih sama yaitu melanjutkan pengembangan nuklir dengan lebih progresif, hal ini sebagai bentuk untuk menggalang dukungan dari simpatisan Mousavi dan rakyat Iran lainnya paska pemilu; membatasi konsumsi minyak dalam negeri dan memaksimalkan ekspor, pengintesifan hubungan dengan Rusia, Cina bahkan India karena Iran ditunjuk sebagai observer dari SOC-organisasi kerjasama damai antara tiga negara tersebut dengan Asia Tengah; Hubungan dengan AS hanya terkait dibidang pemberantasn terorisme dan perdagangan; sedangkan dengan Israel, Iran masih konsisten menerapkan strategi ofensif sebagai suatu solidaritas atas pelanggaran HAM, pelanggaran kedaulatan dan pengusiran warga asli palestina. Selain itu gaya konfrontatif dengan barat juga masih berlanjut sehubungan dengan penolakan imbalan keuangan dan akses perdagangan yang ditawarkan Obama.

            Karisma Nejad dan solidnya dukungan di tingkat akar rumput serta restu dari ulama sekaligus pemimpin tertinggi Iran, ditambah dengan pemaksimalan potensi dalam negeri yang responsif akan berbagai peluang dan tantangan internasional adalah kunci Iran bisa berhasil dan sukses seperti sekarang.  Meskipun didera embargo puluhan tahun dan persaingan yang dinamis dalam tatanan dunia anarki, Iran sanggup bertahan dan berdiri ”dikakinya sendiri”. Bukan suatu keniscayaan lagi bila periode kedua Nejad menjabat, perekonomian Iran beralih dari berkembang menjadi maju.

pandang Israel, konsep geopolitik juga menjadi sangat relevan terkaithubungan erat AS-Israel. Secara geografis, Israel yang memiliki luas wilayah tak lebih dari 20.072km hampir seluruh wilayahnya berbatasan dengan negara-negara yang telah dan potensialmenjadi musuh. Sejak pendiriannya, Israel telah melewati tidak kurang dari enam perang antar Negara.

Fakta ini menimbulkan mentalitas terkepung· pada seluruh rakyat Israel. Maka kemudianmenjadi sangat beralasan jika Israel menggunakan seluruh potensi yang ada untuk tetap bisamempertahankan eksistensinya sebagai Negara. Salah satu cara adalah dengan menjalin hubungan baik dengan AS. Hal ini dimungkinkan salah satunya karena Israel menjadi satu-satunya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Buku:

–          Harsawaskita, A.  (2007). “Great Power Politics  di  Asia  Tengah

Suatu PandanganGeopolitik”, dalam Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Bandung:Graha Ilmu, pp.20 35.Flint,Colin. (2006).

–          Kurnia Sari Nastiti : paper of Geopolitics and Geostrategy; Perang,Geoekonomi,

 dan Geopolitik Minyak dan Gas. April,6,2010. George Lenczowski. 2003. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Bandung : Sinar Baru Algensindo

 

Web / Internet :

–          http://islamalternatif.net/iph/content/view/166/ diakses 08 Juni 2011

–          http://hbmulyana.wordpress.com/2007/12/15/geografi-geopolitik-dan-kultura-kawasan-timur-tengah/.

–          http//: Iran in The World Fact book 2007

–          http://www.suaramerdeka.com diakses 08 juni 2011.

–          http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0110/03/LN/ Pesona Iran oleh Musthafa Abd Rahman diakses melalui ;peso03.htm pada 09 Juni 2011.

–          http//: Israel vs Palestina, Sebuah Perang tak berkesudahan. 10 juni 2011.

 

Koran / Media Masa

–          Harian Seputar Indonesia edisi 25 April 2008 dan Harian Tempo edisi 26 April 2008

 

 


[1] http://hbmulyana.wordpress.com/2007/12/15/geografi-geopolitik-dan-kultural-kawasan-timur-tengah/.

[2] Harsawaskita,A.  (2007). “Great Power Politics  di  Asia  Tengah  Suatu PandanganGeopolitik”, dalam Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional. Bandung:Graha Ilmu, pp.20-35.Flint,Colin. (2006).

 

[3] http://islamalternatif.net/iph/content/view/166/ diakses 08 Juni 2011

[4] George Lenczowski. 2003. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia. Bandung : Sinar Baru Algensindo

[5] Op cit.

[6] http//: Iran in The World Fact book 2007

[7] http://www.suaramerdeka.com diakses 08 juni 2011.

[8] http//;Mahmoud Ahmadinejad di globalsecurity.org diakses pada 09 Juni 2011

[9] Ibid.

[10][14]

[11] http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0110/03/LN/ Pesona Iran oleh Musthafa Abd Rahman diakses melalui ;peso03.htm pada 09 Juni 2011

[12] Harian Seputar Indonesia edisi 25 April 2008 dan Harian Tempo edisi 26 April 2008

[13] http//: Israel vs Palestina, Sebuah Perang tak berkesudahan. 10 juni 2011.

[14] Kurnia Sari Nastiti : paper of Geopolitics and Geostrategy; Perang, Geoekonomi, dan Geopolitik Minyak dan Gas. April,6,2010.